Minggu, 27 April 2014

Kelemahanku

Boleh aku bercerita?

Mungkin kamu akan membaca tulisan ini dengan penuh rasa tidak ingin tahu, namun izinkan aku menyelesaikan ini. Sebelum menyesal, katakan sajalah yang ingin kau katakan, itu kata orang bijak. Maaf menggunakan terlalu banyak kata "kata". Aku hanya berharap kamu tidak ngatain aku di dalam hati.

Mari ke pokok cerita, namaku Furqon. Aku anak ke-4 dari 4 bersaudara. Abang dan kakak-kakak ku semuanya sudah mampu hidup sendiri. Tinggal aku yang masih hidup bergantung pada orang tua. Umurku dengan saudara-saudaraku memang terbilang jauh. Aku hidup di keluarga yang bisa dikategorikan cukup. "Cukup" yang kumaksud di sini mencakup banyak hal. Dari tempat tinggal, penghasilan, komunikasi, maupun kasih sayang. Yah, soal kasih sayang mungkin bukan jumlahnya yang "cukup", tapi penyampaiannya yang benar-benar seperlunya. Bayangkan saja, suasana rumah yang begitu sepi seolah kuburan berbanding terbalik dengan jumlah penghuni rumah yang dapat dikatakan ramai. Untuk berkomunikasi kami harus memiliki suatu keperluan dengan anggota keluarga yang lain. Katakan saja kami membutuhkan yang namanya "modus" untuk dapat saling bicara. Parah bukan? Salah satu penyebabnya mungkin ketidakcocokkan kami dan perbedaan umur yang terpaut cukup jauh. Makan bersama? Melihat mereka sedang makan saja aku sudah bahagia, karena makan bersama tidak dibudayakan di rumah kami.

Fenomena ini terjadi tidak jauh dari jasa orang tua kami. Dimulai dari ayah yang sangat individualis. Bayangkan saja, untuk menghadiri suatu undangan saja sulitnya minta ampun, apalagi menghadiri pertemuan Orang tua di sekolah. Tidak mengherankan memang, karena sejak kecil ayahku sudah hidup berpisah dengan orang tuanya. Sejak kecil dia hidup bersama kakaknya. Selama hidup bersama kakaknya, ayahku melakukan segala sesuatunya sendiri, mungkin inilah penyebab sikap individualisnya. Ia lebih cenderung diam jika sedang berada di rumah. Kemudian ibuku, seorang true-woman yang benar walaupun salah. Tidak tahu lagi bagaimana mendeskripsikan ibuku. Intinya ibuku itu... LABIL. Sudah dulu tentang keluargaku. Sekarang mau kah kamu baca lebih banyak tentang aku ? Aku yakin jawabannya pasti tidak. Tapi izinkan aku menyelesaikan ini, karena orang bijak selalu mengatakan untuk katakanlah apa yang ingin kau katakan.

Hidup di keluarga seperti itu menjadikanku pribadi yang tertutup, penuh tanya, dan anti sosial. Aku selalu minder saat menghadapi lingkunganku, terutama teman sekolah. Saat temanku sedang asyik menceritakan keluarganya aku hanya terdiam, tak tau harus berkata apa. Tidak heran aku hanya mengenal sedikit teman saat masih duduk di bangku SMP. Minder-ku tetap berlanjut ke kehidupan SMA, namun setidaknya sudah berkurang sedikit. Tak satupun ekstrakulikuler yang berani aku masuki. sampai akhirnya sahabatku mendaftarkanku tanpa sepengetahuanku ke ekstrakulikuler Teater (Maaf terlalu banyak menggunakan imbuhan "ku", takutnya kalian malah mengira aku ku-rang ajar). Di situ lah titik balik mulai adanya perubahan dalam diriku. Aku mulai memutuskan untuk memiliki teman sebanyak mungkin di sekolah ini, Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Pontianak. Ada lagi orang bijak yang mengatakan padaku, masa terindah itu adalah di masa SMA, di SMA juga lah kau akan menemukan teman sejati. Aku sangat setuju dengan perkataan itu. Ya, di SMA juga lah aku bertemu dengan cinta pertamaku. Dia lah alasan aku untuk tidak minder dalam menjalani hidupku. Aku menyayanginya dengan segenap jiwaku, sampai aku pun memperlakukannya seperti keluargaku (cuek, diam) dan kupikir itu tindakan yang benar. Namun bagi dia yang hidup di keluarga yang bergelimang kasih sayang dan perhatian, perlakuan ku itu sangatlah jahat. Kurasa itulah yang membuatnya tidak bertahan lama dengan ku. Bodohnya aku tidak menyadari hal ini sejak lama. Sampai saat ini pikiranku tak pernah lepas dari bayangannya. Satu-satunya yang bisa kuharapkan darinya adalah agar cintaku tidak melupakanku. Tapi aku yakin dia pantas mendapat yang jauh lebih baik dariku.

Dalam seketika keinginan menulis ini mulai memudar, sebaiknya aku akhiri tulisan ini sebelum kemalasanku menyerang. Semoga minat menulisku akan segera datang kembali dalam waktu dekat, sekian.


-AlF

3 komentar:

  1. Bagaimanapun keluarga kita saat ini, pasti itu adalah yg terbaik pilihan Allah buat kita... Ada yg malah ndak punya keluarga sama sekali, jadi untuk itu kita harus bersyukur karena punya keluarga yang walaupun cuek tapi sebenarnya saling sayang satu sama lain. Cuma mungkin cara mengekspresikan sayangnya agak beda dengan keluarga kebanyakan... :)

    Keep writing, agan kokon.. ;) Kakak tunggu lo postingan berikutnye yeee ^_^

    BalasHapus
  2. Miris kak, hidup kokon miris -_-

    BalasHapus